Minggu, 06 Februari 2011

Mata Kelabu 4

       Aku membuka mata dan mendapati diriku disebuah ruangan. Aku masih hidup, tidak terluka, dan masih manusia. Aku merasakan jantungku berdetak dalam rongga dada, merasakan pembuluh-pembuluh darahku berdesir. Apa tadi itu, mimpi?
      Aku menarik selimut hingga menutupi hidungku, melirik sekeliling. Ini kamarku, kamar yang kugunakan dirumah keluarga Valerè. Ken, mungkin dia yang membawaku kesini saat aku tertidur.
      Aku bangkit dari tidurku dan berjalan ke meja rias, menatap bayanganku dicermin. Bayanganku, ya itu aku, tidak berubah, berambut hitam sebahu dengan mata kelabu. Ada sesuatu yang berbeda, dahiku kini dihiasi benjolan membiru. Bayangan itu tersenyum geli, aku tersenyum geli.

Mata Kelabu 3

      Aku duduk di rerumputan, merasakan rumput-rumput itu menggelitik telapak kakiku, menggenggam sebuah apel dan memandang Ken dari sudut mata.
      Ken tengah duduk disampingku, berdiam diri. Sejenak aku biarkan ia berkutat seorang diri dalam ruang-ruang pikirannya. Apa yang sedang ia pikirkan?
      "Ken," panggilku.
      "Hmm?" jawabnya.
      "Apa yang sedang kau pikirkan?" Aku memain-mainkan apel pemberian Ken.
      "Tidak ada."
      "Aku boleh menanyakan sesuatu?" tanyaku. Kepalaku terasa begitu berat, semalaman aku tidak bisa tidur karena memikirkan rahasia pembalikan.

Mata Kelabu 2

       Titik-titik embun menempel pada kelopak-kelopak Daisy dan daun-daun Cemara, udara menyeruakkan bau pagi yang terkecap di lidah. Aku memerlukan waktu untuk sendiri, untuk memikirkan peristiwa yang telah kulalui dan berusaha untuk mempercayai bahwa itu benar-benar terjadi. Bayangan Alex seolah tidak rela membiarkan rongga-rongga kepalaku kosong, ia selalu hadir dan memenuhinya, Alex tertawa, Alex meringis, Alex dengan wajah berdarah, dan rasa di jari-jariku saat menyentuh bekas lukanya.
      Belakangan, bayangan ayah dan Rafi pun tak mau ketinggalan, mereka bertiga menyesaki rongga kepalaku, membuatku merasa bersalah dan mual. Lalu, bayangan mereka memudar dan digantikan bayangan Abelard, namun bayangan Abelard tidaklah terlihat sebagai sosok manusia, hanya sebersit rasa benci, kengerian, dan kewajiban yang membebani.

Mata Kelabu 1

       Ruang tamu itu dipenuhi para Valerè, duduk mengitari sebuah meja panjang berukiran rumit. Lukisan-lukisan tetua vampir Eropa berjajar di dinding, mata mereka memandang meja panjang, mengintimidasi. Monsieur Percevel mengamati cawan perak Leon, wajah vampirnya yang sempurna lebih tampak seperti pahatan ketika tak bergerak.
      "Ada yang ingin berbicara tentang ini?" tanya Monsieur Percevel. Aku mengangkat tangan dan segera merasa bodoh karena itu. Para Valerè menatapku, Monsieur Percevel mengangguk.

Selasa, 01 Februari 2011

Keluarga 2

       "Tidak Al, kau tidak mengerti," kataku.
      "Kau yang tidak mengerti Rose!" suara Alex meninggi.
      "Kau tidak mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan." Aku menggertakkan gigi.
      "Aku sangat mengerti Rose, mereka ingin menghancurkan kita, menghancurkan keluarga kita." Ia membelai rambutku.
      "Aku ingin menyelamatkanmu. Kau tidak perlu menjadi seperti ini," kataku.
      "Mereka telah meracuni pikiranmu Rose. Kau tidak perlu menyelamatkanku, aku tidak berada dalam bahaya, ini yang kuinginkan. Aku memiliki keluarga Rose! Tahukah kau betapa itu sangat berarti bagiku? Aku memiliki ayah, dan memilikimu sebagai adikku." Mata kelabunya menatapku penuh kasih sayang.

Keluarga 1

        Perjalanan kembali ini sangat melelahkan. Ken tidak mungkin menggendong kami berdua, jadi kami terpaksa berjalan kaki. Hari sudah mulai malam dan aku sudah sangat kelelahan, begitu pula Leon. Akhirnya kami memutuskan untuk berhenti dan mendirikan tenda di tengah hutan.
       Malam begitu gelap dan mencekam. Satu-satunya suara yang terdengar adalah dengkuran paman Leon dari dalam tenda. Sudah satu jam Ken pergi berburu, dan aku tidak bisa tidur. Aku meringkuk memeluk lututku, menengadah memandang kanopi-kanopi hitam pepohonan. Dingin sekali. Aku berdiri dan mondar-mandir didepan tenda.
       "Rose..." sebuah suara terdengar dari dalam hutan. Apa Ken dalam masalah? Aku berjalan ke sumber suara.

Le Sang de Père Est le Sang de Ses Enfants 2

       "Aku tidak menyukai orang ini," bisikku pada Ken.
      "Kau tidak perlu menyukainya Rose, cukup ingat hal penting yang ia katakan." Ken menegakkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian Leon kembali dengan membawa sebuah cawan perak, ia meletakkan cawan itu di meja.
      "Bolehkah aku...?" kataku seraya mendekatkan tangan ke cawan itu.
      "Tentu saja." Leon mengangguk.
      Aku memperhatikan cawan itu, sebuah kalimat terukir disitu. "Le sang de père est le sang de ses enfants" yang berarti darah ayah adalah darah anak-anaknya. Sebuah kalimat yang ambigu menurutku. "Ini milik Abelard?" tanyaku menyela obrolan Ken dan Leon.